Marital Rape: Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Terhadap Istri Sebagai Korban

(Sumber gambar: Courting The Law)

Marital rape is a rape! Marital rape atau pemerkosaan dalam rumah tangga ialah tindakan pemaksaan dalam perkawinan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, di mana istri mendapat  kekerasan seksual dan pemaksaan berhubungan badan tanpa persetujuan oleh istri. Marital rape juga dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual pada area intim yang dilakukan dengan paksaan, ancaman, atau bahkan pada saat istri tidak sadar. Marital rape dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak siap, pemaksaan hubungan seksual disertai dengan penyiksaan, dan pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehendaki oleh keinginan istri. 

Selama ini, pemahaman hukum yang berlaku mengenai pemerkosaan adalah hubungan badan secara paksa yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah, karena menganggap bahwa pemerkosaan tidak mungkin terjadi dalam ikatan pernikahan. Hal tersebut juga telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP. Tetapi, kenyataannya pemaksaan hubungan seksual sering terjadi dalam perkawinan, di mana banyak istri yang dipaksa untuk berhubungan badan demi melepaskan hasrat seksual suami mereka, meskipun sang istri secara jelas telah menolak. Dalam perkawinan yang sah, ketidaksetaraan kekuasaan dalam pernikahan antara suami dan istri dapat memicu terjadinya marital rape, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Terutama apabila ketika pihak suami merasa memiliki kendali penuh atas keputusan rumah tangga. 

Penyebab marital rape ini bermula dari persepsi keliru bahwa kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga adalah hal yang harus ditutupi karena dianggap sebagai masalah keluarga, bukan masalah sosial. Ditambah dengan pemahaman agama yang salah tentang bagaimana istri harus patuh dan hormat kepada suami, sehingga muncul persepsi bahwa laki-laki memiliki hak sepenuhnya untuk menguasai perempuan. Persepsi bahwa suami dapat berhak melakukan apapun dan istri harus patuh, sehingga membuat perempuan terjebak dan tidak bisa berbuat apa-apa, termasuk melaporkan perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga. Mereka menganggap hal tersebut bukanlah sebuah tindak kejahatan, tetapi sebagai bentuk kewajiban sebagai istri untuk harus memenuhi keinginan suami. Akibatnya, baik korban maupun pelaku sering kali tidak menyadari kalau pemaksaan berhubungan seksual dalam pernikahan termasuk bentuk tindak perkosaan. 

Ketidaksetaraan gender yang terjadi dalam kasus marital rape dimana perempuan selalu dituntut untuk selalu patuh terhadap laki-laki di dalam keluarga. Dalam budaya patriarki, perempuan dianggap lemah, sedangkan menempatkan laki-laki sebagai penguasa. Tentu, hal tersebut akhirnya menimbulkan relasi kuasa yang timpang antara laki-laki terhadap perempuan dan relasi kuasa yang dimiliki laki-laki membuat kaum perempuan menjadi tidak berdaya. Di Indonesia, kesetaraan gender masih dipandang sebelah mata. Orang-orang masih percaya bahwa seorang istri harus mengikuti keinginan suami, karena suami yang memberikan nafkah bagi keluarga, sehingga istri tidak boleh menolak untuk melakukan hubungan badan jika hal itu adalah keinginan suami. Persepsi seperti itulah, yang selama ini selalu digunakan oleh suami dengan dalih istri akan mendapatkan pahala. 

Dalam hubungan antara suami dan istri, budaya patriarki juga dapat menjadi faktor pemicu marital rape. Dimana peran suami dianggap lebih kuat dari segi fisik maupun segi ekonomi, sehingga membatasi ruang gerak seorang istri. Kekerasan berbasis gender merendahkan perempuan dan memperlakukan mereka sebagai objek kekuasaan. Ditambah lagi pemahaman istri yang kurang mengenai hak atas tubuhnya sendiri, menyebabkan mereka  rentan menjadi korban marital rape. Padahal, meskipun telah berumah tangga seorang istri tetap masih memiliki hak atas dirinya sendiri dan memiliki kendali atas tubuhnya. Oleh karena itu, kesetaraan gender dalam keluarga sangat penting untuk melindungi perempuan dari kekerasan termasuk marital rape itu sendiri, dan menciptakan lingkungan rumah tangga yang aman dan nyaman.

Dari sekian banyak kasus pemerkosaan dalam rumah tangga yang dialami oleh istri, dampak yang ditimbulkan sangat menyiksa dan menimbulkan trauma berat bagi korban dalam jangka panjang. Korban dapat mengalami gangguan seperti kecemasan berlebihan, ketakutan yang berlebihan, post-traumatic stress disorder (PTSD), hingga depresi berat. Marital rape hanya memberikan kepuasan pada satu pihak saja, yaitu pihak suami. Sedangkan, istri tentu tidak merasakan kepuasan sama sekali  bahkan hanya mendapatkan penderitaan fisik, serta trauma psikologis yang berkepanjangan. Dari segi fisik, marital rape dapat menyebabkan luka pada daerah intim, terutama jika terjadi dalam jangka waktu lama, terlebih jika disertai kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami saat berhubungan. Seperti perilaku kasar suami saat memaksakan hubungan seksual ketika istri sedang hamil, terutama kondisi istri lemah dan kelelahan akan membahayakan kehamilan, kesulitan dalam proses persalinan, kelahiran prematur, dan lebih fatalnya bisa mengalami keguguran. Kemudian, dari segi psikis dampak yang dialami oleh korban marital rape, yaitu mereka merasa kecewa, selalu menyalahkan diri sendiri, krisis kepercayaan diri, hingga trauma ketika melakukan hubungan seksual. Maka dari itu, rumah tangga yang harmonis dapat terwujud melalui komunikasi yang baik, menjaga penampilan, pemenuhan kebutuhan biologis dengan menjaga keharmonisan hubungan, serta menghindari segala bentuk kekerasan yang dapat merusak kehidupan rumah tangga yang nanti bisa berujung pada perceraian. Dan perlu untuk diingat bahwa suami dan istri memiliki hak yang setara dan sama untuk pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani. 

Penulis:  Al-Munawwara Arman (Volunteer WEI Batch 9)

Editor: Cut Raisa Maulida

Referensi

Samsudin, T. (2010). Perkosaan dalam Pernikahan Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Al-Ulum , 10 (2), 339-354.

Hermawan, E., Mubina, N., & Riza, WL (2023). Pemerkosaan dalam Pernikahan: Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Pemberdayaan Jurnal Mahasiswa Psikologi Universitas Buana Perjuangan Karawang , 3 (1), 13-21.

Puspita, M., & Umami, K. (2024). Mengeksplorasi Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Pemerkosaan dalam Perkawinan di Indonesia. Syakhshiyyah Jurnal Hukum Keluarga Islam , 4 (1), 1-23.

Danica, A., Aristyana, N., Tahapary, CEN, & Samadi, R. (2022). Kriminalisasi Marital Rape: Eksistensi dan Pembuktiannya. Jurnal Yustika: Media Hukum Dan Keadilan , 25 (01), 1-10.

Isima, N. (2021). Kebijakan hukum pidana perkosaan dalam perkawinan dalam konsep pembaharuan hukum di Indonesia. Al-Mujtahid: Jurnal Hukum Keluarga Islam , 1 (2), 125-138.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *