
(Sumber gambar: theAsianparent)
Menilik perihal kesehatan reproduksi, perempuan menjadi pihak yang dibebani tanggung jawab penggunaan kontrasepsi. Mayoritas alat kontrasepsi yang digunakan, seperti pil KB, suntik, IUD, hingga kontrasepsi darurat, masih ditujukan untuk perempuan. Di sisi lain, masih awamnya masyarakat mengenai metode kontrasepsi untuk laki-laki, seperti kondom dan vasektomi. Mengapa beban ini selalu diletakkan di pundak perempuan?
Sesuai kodratnya, seorang perempuan akan mengalami hal-hal seperti menstruasi, kehamilan, hingga menyusui. Namun tak hanya itu, perempuan juga masih dihadapkan pada pilihan kontrasepsi. Penggunaan alat kontrasepsi menjadi tanggung jawab pasangan suami dan istri, dengan kata lain harus dibicarakan bersama. Namun, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa penggunaan kontrasepsi menjadi urusan perempuan, yang mana perempuan yang akan mengandung dan melahirkan, bukan laki-laki. Sehingga seolah-olah perempuan yang memiliki kewajiban untuk menggunakan alat kontrasepsi.
Adanya sistem patriarki yang berkembang, menyebabkan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkup keluarga tidak seimbang. Keterlibatan laki-laki dalam penggunaan alat kontrasepsi sangat rendah dan bahkan seringkali mereka tidak peduli dengan alat kontrasepsi yang digunakan pasangannya. Hal ini didukung oleh riset Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di tahun 2018, yang menemukan bahwa persentase partisipasi perempuan yang menggunakan kontrasepsi sebesar 96,7%, sementara partisipasi laki-laki hanya sebesar 3,3%.
Akses terhadap edukasi mengenai kontrasepsi bagi pria masih minim. Kampanye kesehatan reproduksi seperti halnya program KB, lebih banyak menargetkan perempuan. Sementara pria sering kali tidak dilibatkan dalam diskusi mengenai perencanaan keluarga. Akibatnya, banyak pria yang kurang memahami pentingnya berbagi tanggung jawab dalam kontrasepsi. Padahal, metode seperti vasektomi menawarkan solusi yang lebih permanen, dan lebih minim risiko dibandingkan beberapa metode kontrasepsi perempuan.
Meskipun kontrasepsi memberikan manfaat dalam perencanaan keluarga, penggunaan metode ini juga membawa berbagai risiko kesehatan bagi perempuan. Banyak kontrasepsi hormonal, seperti pil KB dan suntik KB, dapat menyebabkan efek samping seperti perubahan suasana hati, peningkatan berat badan, migrain, dan gangguan siklus menstruasi. Penggunaan kontrasepsi jangka panjang dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan tertentu, seperti trombosis (penggumpalan darah) pada kontrasepsi berbasis estrogen, serta kemungkinan penurunan kepadatan tulang akibat penggunaan. Beberapa metode kontrasepsi, seperti suntik Depo-Provera, dapat menyebabkan keterlambatan kembalinya kesuburan setelah penghentian pemakaian. Selain dampak fisik, penggunaan kontrasepsi juga bisa memengaruhi kondisi psikologis perempuan. Efek samping seperti perubahan suasana hati atau depresi akibat perubahan hormon dapat berdampak pada kesejahteraan mental mereka.
Faktor budaya dan sosial turut berperan dalam ketimpangan ini. Dalam sebagian kepercayaan masyarakat, ada anggapan bahwa mengontrol kehamilan adalah tugas perempuan, sedangkan pria hanya berperan sebagai pasangan yang mendukung. Terlebih adanya stigma di masyarakat terhadap metode kontrasepsi vasektomi. Vasektomi dianggap dapat mengurangi “kejantanan” pria. Padahal, vasektomi hanya mencegah sperma mencapai saluran ejakulasi tanpa mempengaruhi gairah atau performa seksual. Akibatnya, seringkali pria merasa malu dan tidak menghendaki apabila dirinya yang menggunakan metode kontrasepsi tersebut. Kepercayaan dan ekspektasi budaya yang sudah mengakar seringkali menghambat pria untuk berpartisipasi dalam perencanaan keluarga.
Mengatasi ketimpangan ini membutuhkan perubahan pola pikir dan pendekatan yang lebih inklusif dalam edukasi kontrasepsi. Program kesehatan harus lebih banyak melibatkan pria dan memberikan informasi yang lebih luas mengenai metode kontrasepsi pria. Selain itu, perlu ada upaya untuk menghapus stigma terhadap vasektomi dan menekankan bahwa perencanaan keluarga adalah tanggung jawab bersama.
Kontrasepsi bukan hanya soal siapa yang menggunakannya, tetapi tentang keadilan dan kesetaraan dalam hubungan. Sudah saatnya kontrasepsi tidak lagi menjadi beban tunggal bagi perempuan, melainkan tanggung jawab bersama yang harus dipikul oleh kedua belah pihak dalam sebuah hubungan.
Penulis: Fildza Kamila (Volunteer WEI Batch 9)
Editor: Desy Putri R.
Referensi
Ahmed, J.M., Abrejo, F.G., Gul, X. et al. Men’s involvement in family planning programs: an exploratory study from Karachi, Pakistan. Reprod Health 21, 140 (2024). https://doi.org/10.1186/s12978-024-01875-1
Alspaugh, A., Barroso, J., Reibel, M., & Phillips, S. (2020). Women’s contraceptive perceptions, beliefs, and attitudes: An integrative review of qualitative research. Journal of Midwifery & Women’s Health, 65(1), 64–84.
Sylvie Lévesque, Alexandra Toupin, and Maude Pugliese., The Canadian Journal of Human Sexuality. 2024. Contraception: A gendered burden? A mixed methods exploration of experiences around contraception responsibility. 33:2, 236-248