Ala Kachuu sebuah Pelanggaran HAM Perempuan atas Nama Tradisi 

Sumber: Kompas

Apa Itu Ala Kachuu?

Ala kachuu, praktik penculikan pengantin yang diyakini menjadi tradisi sejak Kyrgyzstan dipimpin oleh Uni Soviet. Istilah “Ala Kachuu” dalam bahasa Kirgiz secara harfiah berarti “mengambil perempuan dan lari”, menggambarkan tindakan penculikan perempuan untuk tujuan pernikahan. Dalam konteks historis, beberapa sumber menyatakan bahwa praktik ini awalnya merupakan bentuk kawin lari yang konsensual, bukan pencurian pengantin sebagaimana dipraktikkan saat ini. Dapat dikatakan bahwa praktik tersebut terbagi menjadi dua kategori yaitu penculikan yang benar-benar terjadi dan penculikan yang hanya bersifat formalitas. Fenomena “penculikan formalitas” terjadi ketika laki-laki dan perempuan bersama-sama merencanakan aksi ini, dengan laki-laki yang mengorganisir jalannya acara dan perempuan yang setuju ikut serta secara sukarela. 

Dari Konsensual hingga Pemaksaan

Ala Kachuu mencakup spektrum praktik yang luas, mulai dari kawin lari yang disepakati bersama hingga penculikan paksa yang traumatis. Dalam kasus kawin lari yang disepakati, tradisi Kirgiz mengharuskan pengantin perempuan untuk menampilkan keengganan menikah sebagai cara menegaskan kemurnian dan ketidakbersalahannya, memperumit pemahaman tentang konsensualitas dalam konteks ini. Ambiguitas ini menciptakan area abu-abu yang luas di mana pemaksaan dan persetujuan menjadi sulit dibedakan, sehingga memberikan ruang bagi penyalahgunaan dan pembenaran terhadap tindakan yang pada dasarnya merupakan kekerasan berbasis gender. Dalam skenario non-konsensual yang umum terjadi, proses penculikan direncanakan dengan matang dan melibatkan teman serta keluarga calon mempelai pria. Calon suami, dibantu oleh beberapa pemuda, menculik perempuan dari jalanan, memasukannya ke dalam mobil secara paksa, dan membawanya ke rumah keluarga pria tersebut. Setelah diculik, perempuan dibawa ke rumah keluarga pria dan dipisahkan dalam sebuah ruangan hingga anggota keluarga perempuan dari pihak pria berhasil meyakinkannya untuk mengenakan syal pengantin sebagai tanda penerimaan. Jika perempuan tersebut menolak dan tetap ingin pulang, keluarganya sendiri seringkali ikut menekan untuk menerima pernikahan tersebut, mencerminkan bagaimana tekanan sosial dan keluarga berperan dalam melanggengkan praktik ini. Praktik penculikan pengantin telah lama dianggap sebagai bagian dari tradisi sosial. Namun, penculikan tanpa persetujuan sepertinya baru mulai terjadi secara signifikan sejak awal abad ke-20, dan sejak tahun 1994, tindakan tersebut telah dinyatakan ilegal. Pada tahun 2013, praktik ala kachuu resmi dikategorikan ilegal, dan sejak tahun 2016, pemerintah Kirgizstan secara resmi memberlakukan undang-undang baru terhadap pernikahan di bawah umur dan pernikahan paksa. Undang-Undang No. 9 Tahun 2013, khususnya Pasal 155 ayat 2, menetapkan bahwa penculikan calon pengantin merupakan tindak pidana. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa apabila seseorang menculik seorang perempuan dengan tujuan untuk memaksakan pernikahan tanpa persetujuannya, maka pelaku dapat dihukum dengan pidana penjara selama lima hingga tujuh tahun. Meskipun pemerintah Kirgizstan telah menerapkan hukuman serta peraturan yang ketat, praktik kachuu masih kerap dijumpai, mencerminkan ketegangan antara nilai budaya tradisional yang mengakar dan sistem hukum modern.

Ala Kachuu sebagai Pelanggaran HAM Perempuan 

Praktik ini dibangun di atas asumsi bahwa perempuan tidak memiliki otonomi penuh atas tubuh dan masa depan mereka sendiri, melainkan menjadi subjek keputusan yang dibuat oleh laki-laki dalam keluarga dan komunitas mereka. Sistem nilai patriarkal yang melanggengkan Ala Kachuu melegitimasi kuasa laki-laki untuk memaksakan kehendak mereka terhadap perempuan, menciptakan hierarki sosial yang jelas di mana perempuan ditempatkan pada posisi subordinat. Salah satu aspek yang paling problematis dari praktik ini adalah bagaimana praktik Ala Kachuu menjadikan pernikahan sebagai institusi yang dibangun di atas pemaksaan, bukan kesepakatan mutual dan cinta. Ala Kachuu menunjukkan bahwa tradisi ini menyebabkan hadirnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan Kirgizstan. Kekerasan ini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik selama proses penculikan, kekerasan psikologis melalui pemaksaan dan isolasi, hingga kekerasan struktural yang membatasi kesempatan dan pilihan hidup perempuan. Sistem sosial yang memungkinkan kekerasan semacam ini bertahan mencerminkan bagaimana tradisi ini telah melanggar hak asasi manusia, hak kebebasan yang seharusnya didapatkan oleh semua perempuan di Kirgizstan..

Menuju Penghapusan Ala Kachuu

Upaya untuk mengakhiri ala kachuu harus berpusat pada suara dan pengalaman perempuan Kirgizstan. Ini berarti menciptakan ruang dan platform di mana perempuan dapat berbicara untuk diri mereka sendiri, membagikan kisah mereka, dan terlibat dalam proses perubahan. Ini juga berarti mengakui bahwa perempuan bukan kelompok homogen, dan bahwa pengalaman dan perspektif mereka akan bervariasi berdasarkan faktor-faktor seperti usia, kelas, lokasi geografis, dan latar belakang pendidikan. Kemudian, diperlukan program pendidikan formal di sekolah dan universitas, serta inisiatif pendidikan informal di masyarakat yang mempromosikan gagasan kesetaraan dan rasa hormat dalam hubungan, dan menyediakan informasi tentang hak-hak hukum dan sumber daya yang tersedia bagi korban. Selain itu juga, dibutuhkan pelatihan bagi polisi, hakim, dan pejabat sistem peradilan lainnya tentang sifat dan dampak ala kachuu, serta tentang undang-undang yang berlaku. Ini juga memerlukan alokasi sumber daya yang memadai untuk penegakan hukum dan sistem peradilan, dan langkah-langkah untuk menangani korupsi dan bias yang dapat menghalangi akses perempuan terhadap keadilan. Perlindungan bagi korban yang melaporkan kasus penculikan pengantin dan dukungan bagi mereka selama proses hukum juga sangat penting.

Penulis: Khairunisa Putri  (Volunteer WEI Batch 9)

Editor: Cut Raisa Maulida

REFERENSI

Committee on the Elimination of Discrimination against Women. 2018. Report of the inquiry concerning the Kyrgyz Republic under article 8 of the Optional Protocol to the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women. United Nations: United Nations Human Rights.

CSCE. (2017, Agustus 29).Bride Kidnapping in the Kyrgyz Republic. Diakses pada tanggal 13 Maret 2025, https://www.csce.gov/articles/bride-kidnapping-kyrgyz-republic/ 

Institut Du Genre En Geopolitique. (2022, Oktober 12). Marriage by kidnapping in Kyrgyzstan: a practice that stands the test of time.  Diakses pada tanggal 13 Maret 2025, (https://igg-geo.org/en/2022/10/12/marriage-by-kidnapping-in-kyrgyzstan-a-practice-that-stands-the-test-of-time 

Kumparan.com. (2020, Juli 16). Tradisi Penculikan Pengantin yang Berubah Jadi Petaka bagi Perempuan Kyrgyzstan. Diakses pada tanggal 13 Maret 2025, https://kumparan.com/kumparanwoman/tradisi-penculikan-pengantin-yang-berubah-jadi-petaka-bagi-perempuan-kyrgyzstan-1todZOXnW45 

Namuwiki. (2025, Maret 13). Alla Kachuu. Diakses pada tanggal 13 Maret 2025, https://en.namu.wiki/w/%EC%95%8C%EB%9D%BC%20%EC%B9%B4%EC%B6%94 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *