(Sumber gambar: https://images.app.goo.gl)
Regulasi PP No. 28/2024
Dalam Pasal 116 PP No 28/2024 berbunyi
“Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana.”
Dalam Pasal 117 terkait indikasi kesehatan medis, aborsi diperbolehkan ketika kehamilannya itu menimbulkan risiko serius terhadap keselamatan dan kesejahteraan ibu serta/atau kondisi janin yang mengalami kelainan bawaan yang tidak dapat diperbaiki, sehingga tidak memungkinkan untuk bertahan hidup di luar rahim. Sementara pada Pasal 118 PP 28/2024 menyatakan kehamilan akibat pemerkosaan atau kekerasan seksual harus dibuktikan dengan:
- Surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan; dan
- Keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
Selanjutnya, Pasal 122 ayat (2) menjelaskan bahwa konfirmasi persyaratan dari pasangan tersebut tidak diberlakukan bagi korban tindak kekerasan seksual.
Ketidakselarasan Regulasi dan Ketidakpastian Hukum
Ketidakpastian hukum dalam regulasi PP No. 28 Tahun 2024 terlihat dalam menentukan batasan usia kehamilan untuk pelaksanaan aborsi. Pada dasarnya, peraturan ini mengacu pada ketentuan dalam PP No. 61 Tahun 2014 dan UU No. 1 Tahun 2023, yang masing-masing menetapkan batas usia kehamilan yang berbeda yaitu 40 hari (sekitar 6 minggu) dalam konteks kekerasan seksual menurut PP No. 61/2014, dan hingga 14 minggu menurut UU No. 1/2023.
Perbedaan tersebut mengundang kekhawatiran di kalangan tenaga kesehatan, mengingat semakin besar usia kehamilan, semakin tinggi pula risiko komplikasi seperti pendarahan, infeksi, efek anestesi, serta trauma psikologis pada perempuan. Kritik pun datang dari berbagai pihak, termasuk praktisi medis yang menilai bahwa keterlibatan mereka dalam proses perumusan regulasi masih minim. Selain itu, aturan yang saling bertolak belakang juga bertentangan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menetapkan ambang waktu 40 hari, sehingga menimbulkan celah yang dapat mendorong praktik aborsi ilegal.
Dampak Stigma Aborsi
Stigma terhadap aborsi masih sangat kuat di Indonesia, bahkan di kalangan profesional kesehatan. Hal ini tercermin dalam pernyataan seorang dokter kandungan utusan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) yang menyebut layanan aborsi bagi korban kekerasan seksual dengan batas usia kehamilan 14 minggu sebagai “pembunuhan. Pernyataan seperti ini mencerminkan bagaimana stigma terhadap aborsi masih sangat kuat, bahkan di kalangan profesional yang seharusnya memberikan layanan kesehatan tanpa penilaian.
Stigma aborsi terhadap korban kekerasan seksual menciptakan krisis psikologis kepada korban kekerasan seksual atau pemerkosaan, seperti adanya keinginan untuk bunuh diri akibat menghadapi luka batin dari pengalaman kekerasan, serta menghadapi penghakiman dan pengucilan sosial, sehingga menghambat akses mereka kepada dukungan sosial dan bantuan hukum. Di sisi lain, adanya kerangka hukum yang ambigu, seperti ketidakjelasan batas usia kehamilan legal dikhawatirkan dapat membuat korban terpaksa mengakses layanan aborsi ilegal yang tidak hanya berisiko kematian (43% kasus perdarahan hebat), tetapi juga memperdalam trauma melalui praktik medis yang kasar dan tidak steril.
Risiko Kesehatan Akibat Aborsi Tidak Aman
Prosedur aborsi yang dilakukan tanpa pengawasan medis yang tepat dapat menimbulkan risiko fisik yang serius, mulai dari perdarahan hebat, hingga konsekuensi jangka panjang seperti infertilitas dan komplikasi pada kehamilan di masa depan. Selain risiko fisik, korban yang menjalani prosedur aborsi tidak aman sering mengalami tekanan psikologis yang berat, baik sebelum, selama, maupun setelah prosedur. Risiko ini dapat menjadi semakin tinggi bagi korban yang mungkin tidak memiliki informasi yang cukup atau akses ke layanan kesehatan yang memadai.
Rekomendasi dan Saran
Adapun beberapa rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan perlindungan hukum dan akses ke layanan kesehatan reproduksi bagi korban kekerasan seksual.
- Perlu melakukan harmonisasi antara berbagai peraturan yang mengatur mengenai aborsi, termasuk KUHP, UU Kesehatan, dan PP No. 28 Tahun 2024 untuk memberikan kepastian hukum bagi korban kekerasan seksual dan tenaga medis.
- Pertimbangan untuk melakukan aborsi seharusnya didasarkan pada alasan kesehatan dan kondisi psikologis korban. Batasan waktu yang terlalu ketat, seperti 6 minggu, tidak realistis mengingat banyak korban tidak segera menyadari kehamilannya atau melaporkan akibat trauma yang dialami.
- Pemerintah perlu meningkatkan akses ke layanan kesehatan, termasuk layanan konseling, dukungan psikologis, dan akses ke layanan aborsi yang aman dan legal. Layanan ini harus mudah untuk diakses oleh semua korban, tanpa diskriminasi.
- Program edukasi kesadaran publik perlu dilakukan untuk mengurangi stigma terhadap korban kekerasan seksual dan aborsi. Edukasi ini juga perlu ditargetkan pada tenaga kesehatan, penegak hukum, pembuat kebijakan, serta masyarakat.
Adapun Saran langkah-langkah yang dapat dilakukan korban diantaranya:
- Segera mendatangi fasilitas kesehatan yang memiliki layanan klinik forensik atau dokter spesialis forensik. Untuk dilakukan pemeriksaan medis, termasuk tes kehamilan, pemeriksaan penyakit seksual menular, dan dokumentasi cedera.
- Diskusikan dengan tenaga medis profesional, termasuk kemungkinan aborsi aman sesuai PP Kesehatan No. 28 tahun 2024. Pastikan juga untuk mendapatkan akses ke layanan pemulihan yang komprehensif, termasuk perawatan selama kehamilan jika memutuskan untuk melanjutkan kehamilan
- Laporkan kejadian ke kepolisian untuk mendokumentasikan kasus dan meminta surat permohonan visum. Jika ragu, konsultasikan dengan lembaga bantuan hukum atau organisasi independen seperti Komnas Perempuan untuk mendapatkan saran dan bantuan lebih lanjut.
Penulis: Khairunisa Putri (Volunteer WEI Batch 9)
Editor: Cut Raisa Maulida
Referensi
Antaranews. (2024, Agustus 1). Ketentuan aborsi dalam PP aturan pelaksana UU Kesehatan. Diakses pada tanggal 6 Maret 2025, https://www.antaranews.com/berita/4231927/ketentuan-aborsi-dalam-pp-aturan-pelaksana-uu-kesehatan
BPK RI. (2024). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Diakses pada tanggal 6 Maret 2025, https://peraturan.bpk.go.id/details/294077/pp-no-28-tahun-2024
Halodoc. (2023, Juni 8). Fakta Mengenai Aborsi yang Perlu Dipahami. Diakses pada tanggal 7 Maret 2025, https://www.halodoc.com/artikel/fakta-mengenai-aborsi-yang-perlu-dipahami
Kompas.com. (2024, Juli 31). Ketentuan Aborsi di PP No 28/2024: Ada Indikasi Darurat Medis dan Korban Pemerkosaan. Diakses pada tanggal 6 Maret 2025, https://www.kompas.com/tren/read/2024/07/31/123000065/ketentuan-aborsi-di-pp-no-28-2024-ada-indikasi-darurat-medis-dan-korban?page=all.
Kompas.id. (2024, Agustus 2). Batasan Usia Kehamilan Tindakan Aborsi Dipertanyakan. Diakses pada tanggal 6 Maret 2025, https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/08/02/batasan-usia-kehamilan-tindakan-aborsi-masih-dipertanyakan
Kompas.id. (2024, Mei 26). Perempuan dengan Kehamilan Tak Diinginkan Perlu Perhatian Khusus. Diakses pada tanggal 6 Maret 2025, https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/05/26/perempuan-dengan-kehamilan-tak-diinginkan-perlu-dapat-perhatian-khusus?status=sukses_login&status_login=login&loc=hard_paywall
ProjectMultatuli. (2023, September 27). Kebijakan Aborsi Berbalut Stigma: Ketika Layanan Kesehatan Tidak Berpihak Pada Hak Korban Kekerasan Seksual. Diakses pada tanggal 7 Maret 2025, https://projectmultatuli.org/kebijakan-aborsi-berbalut-stigma-ketika-layanan-kesehatan-tidak-berpihak-pada-hak-korban-kekerasan-seksual/
Suhayati, M., & Saputra, N. P. (2020). Permasalahan Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI XII, (1).